Wednesday, March 16, 2016

Mengetahui klasifikasi dan Penanganan Epilepsi



DEFINISI
Epilepsi, atau yang dikenal juga secara awam sebagai sakit ayan, adalah penyakit kejang berulang yang disebabkan oleh gangguan kelistrikan pada susunan saraf otak. Berdasarkan definisi tersebut, bila kejang hanya terjadi satu kali maka belum dapat disebut sebagai epilepsi. Kejang sendiri adalah kumpulan tanda dan gejala yang disebabkan oleh terjadinya gangguan kelistrikan pada susunan saraf pada otak.



KLASIFIKASI
1.   Kejang Parsial
Kejang jenis ini terjadi akibat gangguan kelistrikan pada salah satu bagian dari otak sehingga yang terkena hanya sebagian. Contohnya bila yang terkena adalah bagian otak yang mengatur motorik maka dapat terjadi kedutan pada otot di wajah atau tangan, sedangkan tubuh bagian lain tidak akan terpengaruh. Sedangkan bila yang terkena adalah fungsi sensorik maka dapat terjadi gangguan pada pengelihatan.Kejang Parsial sendiri dapat lagi dibagi menjadi beberapa kelompok sebagai berikut:
A.   Simpleks
Pada kejang jenis ini, setelah terjadi kejang penderita masih dapat mengingat kejadian selama kejang atau tidak tampak kebingungan.
B.   Kompleks
Pada kejang jenis ini, penderita tidak dapat mengingat kejadian saat kejang dan akan tampak kebingungan sesudah kejang terjadi. Terkadang kejang jenis ini dapat awali dengan mual, sensasi panas, atau deja vu yang dikenal juga sebagai aura. Selain aura, dapat juga diawali dengan mengecap-ngecapkan mulut, berjalan tanpa tujuan, atau gerakan lain tanpa tujuan lainnya yang dikenal juga dengan otomatisasi. Aura dan otomatisasi dapat berlangsung selama beberapa detik hingga hitungan menit.
C.   Sekunder umum
Pada kejang jenis ini, terjadi penyebaran gangguan kelistrikan dari salah satu bagian otak ke seluruh bagian otak. Jadi, apabila awalnya kejang hanya berupa kedutan di tangan atau wajah lalu akan menyebar ke seluruh tubuh juga sehingga seluruh tubuh mengalami kejang.

2.   Kejang Umum
Kejang jenis ini terjadi akibat gangguan kelistrikan pada seluruh bagian otak sehingga yang terkena adalah seluruh tubuh. Umumnya setelah kejang umum, keadaan penderita akan tampak mengantuk dan kebingungan. Kondisi ini dapat berlangsung hingga beberapa jam. Kejang umum sendiri lalu terbagi menjadi 5, yaitu :
A.   Absans atau petit mal
Kejang jenis ini juga umumnya terjadi pada anak-anak. Seringkali keluhan datang dari guru di sekolah di mana anak sering terlihat bengong, mengangguk-anggukkan kepala atau hanya mengedip-ngedipkan mata saja. Kejang absans umumnya berlangsung singkat. Seringkali kejang ini sulit dibedakan dengan kejang parsial kompleks.
B.   Tonik – klonik atau grand mal
Pada kejang jenis ini, awalnya penderita akan mengalami kehilangan kesadaran lalu seluruh tubuh menjadi kaku, mata mendelik ke atas, dan disertai dengan gerakan ritmis dari anggota gerak. Umumnya kejang dapat berlangsung selama 1-3 menit. Hal ini juga terkadang disertai juga dengan menggigit lidah sendiri.
C.   Mioklonik
Pada kejang jenis ini terjadi gerakan dari anggota gerak yang kurang ritmis dibandingkan dari kejang tonik – klonik.
D.   Atonik
Kejang jenis ini umumnya terjadi setelah trauma atau benturan pada kepala yang berat hingga menimbulkan cedera luas. Awalnya penderita akan merasa lemas lalu terjatuh. Seringkali dapat ditemukan luka atau lebam akibat benturan saat jatuh.
E.   Tonik
Pada kejang jenis ini terjadi kekakuan dari otot. Anggota gerak ekstensi ke arah luar atau ke atas.

Dari klasifikasi di atas, dapat terlihat bahwa kejang sangat variatif sehingga untuk menentukan secara pasti jenis dari kejang yang dialami penderita, yang nantinya akan mempengaruhi pemilihan obat, diperlukan pemeriksaan lanjutan dengan menggunakan electroensefalogram (EEG).

PENYEBAB
Penyebab kejang berulang yang dapat menjadi pemicu epilepsi :
1.   Trauma atau benturan pada kepala yang berat
Trauma atau benturan kepala yang berat menyebabkan terjadinya kerusakan pada otak, pendarahan otak, kehilangan kesadaran, dan amnesia dapat menjadi pemicu terjadinya kejang berulang.
2.   Stroke
Stroke menyebabkan kematian dan cedera dari sel – sel saraf otak sehingga memicu terjadinya kejang berulang. Sekitar 10% dari kasus stroke mangalami epilepsi.
3.   Infeksi otak
Infeksi pada otak dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan parasit. Selain kejang, juga disertai dengan nyeri kepala dan demam.
4.   Tumor otak
Tumor pada otak yang menekan jaringan otak menyebabkan terjadinya iritasi sehingga memudahkan untuk terjadinya kejang berulang.
5.   Fotosensitif atau cahaya kerlap – kerlip
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cahaya kerlap-kerlip dapat juga menjadi pemicu terjadi kejang pada orang – orang yang sensitif terhadap cahaya tersebut. Cahaya tersebut dapat ditemukan pada televisi dan kamera.
6.   Kadar gula darah atau oksigen rendah
Agar dapat berfungsi maksimal otak memerlukan oksigen dan gula darah (glukosa). Kadar gula darah dan oksigen yang rendah dapat memicu terjadinya kejang berulang.
7.   Obat
Pada beberapa orang yang sensitif terhadapt penggunaan obat-obat tertentu dapat menyebabkan kejang.
8.   Tidak diketahui (asimpton)
Sekitar 60% dari penderita epilepsi tidak diketahui penyebabnya.

PEMERIKSAAN
1.   Laboratorium
Untuk orang dewasa, pemeriksaan elektrolit, gula darah dan kadar kalsium sangat penting untuk menyingkirkan masalah ini sebagai penyebab. Pemeriksaan elektrokardiogram dapat menyingkirkan masalah yang berhubungan dengan ritme jantung. Pungsi lumbal dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosis infeksi sistem saraf pusat tetapi tidak selalu diperlukan. Pada anak-anak pemeriksaan tambahan mungkin diperlukan, misalnya biokimia urin dan tes darah untuk melihat adanya kelainan metabolik.

Tingkat prolaktin darah yang tinggi pada 20 menit pertama setelah kejang merupakan tanda yang penting untuk mengkonfirmasi kejang epilepsi dan bukannya kejang psikogenik non-epileptik. Kadar prolaktin serum kurang bermanfaat dalam hal mendeteksi kejang parsial. Bila kadarnya normal maka kejang epileptik masih berupa kemungkinan dan prolaktin serum tidak membedakan antara kejang epileptik dengan sinkop (pingsan). Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin untuk mendiagnosis epilepsi.

2.   EEG
Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) dapat membantu memberikan gambaran aktivitas otak yang menunjukkan peningkatan risiko terjadinya seranga. Pemeriksaan ini direkomendasikan hanya pada mereka yang menunjukkan kejang epileptik sebagai gejala. Pada diagnosis epilepsi, elektroensefalografi dapat membantu membedakan jenis kejang atau sindrom yang ada saat itu. Pada anak-anak biasanya hanya diperlukan setelah adanya kejadian kejang kedua. Pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis, dan dapat menyebabkan tanda positif palsu pada mereka yang tidak mengidap penyakit ini. Pada situasi tertentu akan membantu apabila pemeriksaan dilakukan ketika pasien tertidur atau dalam keadaan kurang tidur.

3.   Pencitraan
Pencitraan diagnostik menggunakan CT scan dan MRI direkomendasikan setelah kejang non-febril pertama untuk mendeteksi adanya masalah struktural di dalam dan sekitar otak. MRI pada umumnya merupakan tes pencitraan yang lebih baik kecuali bila dicurigai terjadi pendarahan, dimana CT lebih sensitif dan lebih mudah dilakukan. Bila seseorang masuk ke ruang gawat darurat dengan kejang tetapi pulih dengan cepat, pemeriksaan pencitraan dapat dilakukan kemudian. Bila sebelumnya, seseorang telah didiagnosis epilepsi dengan pemeriksaan pencitraan, pemeriksaan pencitraan ulang tidak diperlukan walaupun terjadi kejang kembali.

PERTOLONGAN PERTAMA
Memposisikan penderita dengan kejang tonik klonik aktif pada posisi bertumpu pada sisi badan dan pada posisi pulih akan membantu mencegah cairan masuk ke paru-paru. Jangan memasukkan apapun ke dalam mulut penderita. Seringkali kebiasaan masyarakat untuk memberikan kopi atau kecap sebagai obat untuk menghentikan kejang dapat menyebabkan penderita tersedak dan kopi atau kecap tersebut masuk ke dalam paru-paru sehingga dapat terjadi infeksi paru. Kebiasaan lainnya berupa memasukkan sendok ke dalam mulut agar tidak menggigit lidah sendiri dapat berakibat patahnya gigi dan dapat menyumbat saluran pernapasan. Lidah yang tergigit akan menjadi luka yang dapat sembuh seiring waktu.

Usaha-usaha yang ada harus dilakukan agar penderita tidak mencederai diri sendiri. Tindakan pencegahan cedera tulang belakang biasanya tidak diperlukan. Bila kejang berlangsung lebih dari 5 menit atau terjadi dua atau lebih kejang dalam satu jam tanpa proses pemulihan ke keadaan normal di antaranya maka keadaan ini dianggap sebagai darurat medis yang dikenal sebagai status epileptikus. Kondisi ini memerlukan pertolongan medis agar jalan napas tetap terbuka dan terlindung jalan napas nasofaringeal akan sangat membantu pada keadaan ini.

Untuk di rumah, pengobatan awal yang diberikan pada kejang dengan durasi yang lama adalah midazolam yang diletakkan di mulut. Diazepam dapat juga diberikan dalam bentuk sediaan secara rektal. Di rumah sakit, pemberian lorazepam secara intravena lebih disukai. Bila dua dosis benzodiazepine tidak efektif, penggunaan obat lain yang dianjurkan adalah fenitoin. Status epileptiku konvulsif yang tidak memberikan respon terhadap penanganan awal biasanya memerlukan perawatan di unit gawat darurat dan perawatan dengan senyawa yang lebih kuat seperti tiopenton atau propofol.

Perhatikan jenis kejang yang dialami penderita. Apakah hanya pada bagian tubuh tertentu atau seluruh tubuh; tubuh kaku sulit dilawan atau lemas. Ini akan membantu dalam menetukan jenis kejang yang dialami penderita. Catat lama kejang, frekuensi kejang, gerakan-gerakan penderita sebelum kejang, dan tanda-tanda lainnya.
Untuk mencegah kejang berulang, dapat diberikan obat anti epilepsi (OAE). Hingga saat ini, terdapat beberapa jenis OAE yang dapat dipilih. Pemilihan OAE dilakukan dengan mempertimbangkan jenis kejang, respon terhadap OAE dan efek samping yang dirasakan penderita. Penggunaan OAE bersifat jangka panjang. Oleh karena itu, penggunaan OAE harus dipantau dan dievaluasi oleh dokter.

Apabila kejang berulang tidak dapat dikontrol dengan menggunakan OAE dosis maksimal, maka dapat dilakukan tindakan pembedahan. Penting untuk tiap penderita mengenali diri masing-masing dan mengubah gaya hidup yang sesuai. Penderita tidak boleh terlalu lelah maupun stress. Penderita dapat terus sekolah, bekerja, dan berkeluarga. Perlu diingat bahwa epilepsi tidak menular, epilepsi bukan penyakit keturunan, dan epilepsi dapat dikontrol.

BEDAH
Bedah epilepsi bisa menjadi pilihan bagi mereka yang menderita kejang fokal yang tak kunjung membaik setelah ditempuhnya penanganan-penanganan lain. Penanganan lain tersebut mencakup paling tidak uji satu atau dua jenis pengobatan. Sasaran bedah adalah kendali tuntas atas kejang yang dialami oleh pasien dan ini bisa berhasil terlaksana dalam 60-70% kasus.

Prosedur-prosedur yang lazim ditempuh meliputi: pemotongan hipokampus lewat reseksi lobus temporal anterior, pengangkatan tumor, dan pengangkatan sebagian neokorteks. Beberapa prosedur seperti kalosotomi korpus dilakukan dalam upaya mengurangi jumlah kejang alih-alih menyembuhkan kondisi si pasien. Setelah bedah, pengobatan sering kali bisa dikurangi secara perlahan.

PANTANGAN
Suatu diet ketogenik (tinggi lemak, rendah karbohidrat, cukup protein) tampaknya bisa mengurangi jumlah kejang hingga setengahnya pada kira-kira 30-40% pasien anak. Sekitar 10% berhasil menjalani diet tersebut selama beberapa tahun, 30% mengalami konstipasi, dan efek simpang lainnya merupakan efek yang umum terjadi. Diet yang tidak sekeras itu lebih mudah ditoleransi dan bisa jadi juga efektif.  Belum jelas mengapa diet tersebut manjur. Kegiatan olahraga telah diajukan sebagai sesuatu yang mungkin bisa bermanfaat dalam mencegah terjadinya kejang dan pernyataan tersebut didukung oleh sejumlah data.

Terapi penghindaran merupakan usaha untuk meminimalkan atau menghilangkan pemicu-pemicu. Contohnya, pada penderita yang peka terhadap cahaya ada baiknya untuk menggunakan televisi berlayar kecil, menghindari permainan video, atau memakai kacamata gelap. Ada yang berpendapat bahwa anjing penanggap kejang, sejenis anjing pelayan, dapat memprediksi kejang. Akan tetapi, bukti yang mendukung hal ini belum memadai. Umpan balik ragawi berbasis operan berdasarkan gelombang-gelombang EEG menunjukkan sejumlah kemanjuran pada penderita yang tidak merespons terhadap pengobatan. Akan tetapi, metode psikologis tidak boleh dijadikan pengganti pengobatan.

No comments:

Post a Comment